Perceraian Berawal Pahit Tapi Lebih Baik

Single Mom
Lepaskan belenggu kesengsaraan dan raih kebahagiaan hidup.
Sumber Foto: Koleksi Pribadi.

        Nggak terasa sudah 1 tahun aku menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal bagi kedua anakku.
        Aku memang sangat kukuh untuk berpisah dengan ayah dari kedua anakku kala itu, karena pernikahan kami memang hanya diwarnai oleh air mata. Selain perasaan kesal, aku tak pernah menyesal ketika menyadari bahwa wanita lain telah hadir di antara kami.
        Hanya lelaki dengan ego yang tinggi, akan membiarkan seorang wanita yang sudah menjadi ibu dari anak-anaknya terkungkung dalam rasa sepi mendalam, sementara dirinya bersama wanita lain di luar sana.
        Itu juga yang menyebabkan aku tidak seperti sebagian wanita lain, yang mengamuk membabi buta menyerang sang 'pelakor', tetapi justru berucap terima kasih yang mendalam karena ia telah mau berkata jujur.
        Kejujuran adalah keutamaan dalam hidup. Bagaimana kita mau menjelaskan tentang kejujuran dan hikmah di baliknya kepada anak-anak kita jika orang tuanya sendiri tidak mampu memperlihatkan sikap yang jujur?
        Pahit atau manis, katakan saja yang sejujurnya, karena sebuah kejujuran meski awalnya pahit, pasti berbuah manis. Tak perlu berpura-pura mencintai jika sudah tidak cinta.
        Ada beberapa wanita yang aku baca komentarnya pada sosial media, "Memang kalau sudah selingkuh tiada ampun. Ceraikan saja, tapi hajar dulu sampai babak belur pelakornya."
        Sebenarnya manusia itu tempatnya khilaf, telusuri saja dulu sepanjang kehidupan rumah tangga kalian, apa suami selama ini masih bersikap baik, apa suami adalah sosok yang lembut bagi keluarga, jika ya maka tak masalah untuk dipertahankan.
        Lalu kalau suami tak bisa memilih, istri pun punya dua pilihan kok, berbagi madu dalam poligami (Islam diperbolehkan) atau minta diceraikan dengan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
        Kalau komennya sebagian lelaki dalam kasus 'pelakor' berbeda lagi, "Istrinya nggak bisa mencium bau surga karena menolak poligami sampai suaminya jajan di luar (zina)."
        Padahal lelaki juga punya banyak pilihan kok, kalau cinta sama wanita lain lagi ya tinggal berkata jujur pada istri, meminta poligami, sedangkan kalau istri tidak bersedia ya tinggal memilih mau mempertahankan yang mana.
        Hidup itu sebenarnya sesederhana itu, banyak sekali pilihan dan manusia tinggal memutuskan yang terbaik bagi dirinya. Hehehe ...
        Sudah lama kusadari kalau cinta sudah tak ada dalam rumah tangga kami. Dia sudah tidak cinta, begitupun denganku, bedanya hanyalah aku memegang komitmen hingga benar-benar berpisah, bahkan aku sangat menjaga jarakku dengan semua teman lelaki saat aku masih terikat dalam sebuah pernikahan.
        Sungguh tak ada ikatan batin yang mendalam antar suami istri lagi selain kewajibanku sebagai istri untuk melayani kebutuhan intimnya dan kewajibannya untuk menafkahiku.
        Tak ada komunikasi hangat, tak ada bersantai bersama sambil menikmati tayangan televisi sepanjang akhir pekan bersamaku dan anak-anak, tak ada makan bersama di meja makan sambil bersenda gurau, bahkan tak ada tidur bersama dalam satu ranjang setiap malamnya.
        Pernikahan yang sungguh jauh dari mimpiku, tapi aku terima asalkan di antara kami tiada pengkhianat cinta.
        Itu juga yang menyebabkan aku tak pernah menolak untuk melayaninya. Bukan karena aku taat sepenuhnya pada ayat Al Quran yang menyebutkan itu. Pendidikan agamaku masih minim sekali, sangat luar biasa jika aku ketika itu memikirkan dosa kalau menolak untuk melayani suami. Yang aku tahu hanyalah aku bisa solat dan membaca Al Quran, itu saja untuk urusan agama. Berbusana pun aku belum sepenuhnya benar.
        Aku lebih takut pada pengkhianatan kala itu sehingga aku berusaha semampuku untuk melayaninya dengan baik, bBahkan aku merasa khawatir jika mengetahui bahwa ia sudah tidak butuh itu, jadi tak menunggu dua kali dikte saat ia memintanya.
        Tak terduga malah membuahkan hasil, anak bungsuku lahir di tengah kemelut rumah tangga orang tuanya. Dan siapa sangka di usianya yang semuda itu (10 bulan) ia sudah terpaksa ikut menginjakkan kaki di ruang sidang Pengadilan Agama saat kedua orang tuaku juga dibutuhkan sebagai saksi sidang.
        Inilah hidupku kini, membawa kedua anakku untuk menjadi beban bagi kedua orang tuaku lagi, tapi tak henti dari bibirku mendoakan agar rezeki mereka berdua dilancarkan Allah, diberi kesehatan dan dipanjangkan usianya, aamiin yaa Rabb.
         Tak ada yang berubah secara signifikan dalam hidupku, selain tidak ada pemberi nafkah lagi untukku dan kini hidup beramai-ramai bersama orang tua dan kedua ponakkanku juga.
        Dari dulu aku tetap sendiri merawat dan mengasuh kedua buah hatiku, dan dari dulu aku memang hanya tidur di kamar bersama kedua buah hatiku.
        Hubungan dengan mantan suamiku masih baik, yah sebaik yang aku mampu, sekedar menerimanya sebagai ayah kandung dari anak-anakku. Karena anak-anakku harus tahu bahwa dia tetap punya ayah meski tidak bersama ibunya lagi.

Komentar