Ikhlas dalam Mendidik Anak - Sikap Orang Tua Terhadap Anak

Ikhlas yang Sesungguhnya
Sumber Foto: canva.com

Ikhlas itu banyak macamnya. Ikhlas bersedekah, bisa jadi karena dia memang berlebihan uang. Paling tidak setelah bersedekah, ia masih cukup makan dan minum.

Tapi ikhlas yang sungguh luar biasa adalah, ketika ia melakukan sesuatu untuk orang lain dan bermanfaat bagi orang tersebut (tidak bermanfaat sama sekali bagi dirinya sendiri), namun masih bisa tetap dia kerjakan tanpa paksaan, mengeluh, bahkan masih bisa tersenyum saat menghadapinya.
Masa Pandemi begini, para Mami Keceh memang sedang diuji kesabarannya dan dinilai seberapa tinggi ilmu ikhlasnya.
Kalau masih mengeluh (seperti saya, kadang-kadang, hahaha, tapi nggak sering kok), berarti masih kurang tinggi ilmunya
Kalau sampai stres, apalagi karena kesal yang memuncak, sampai menghajar anak-anak, artinya ilmu ikhlasnya belum berkembang sama sekali.
Karena ikhlas itu bukan sekedar ucapan "Saya ikhlas melakukan itu", melainkan berdasarkan perilaku kita dalam menyikapinya.
Apakah kalian sebagai orang tua mengomel sepanjang hari di rumah, apakah selalu menjadikan anak-anak (yang sudah pasti tidak mampu melawan kemarahan membabi buta kita) sebagai sasaran, dan hal lainnya yang menunjukkan tingkat stres kita? Berarti nggak ikhlas ya merawat anak?
Kebetulan aku memang bukan pendukung 'Gerakan Ikat Pinggang' atau 'Gerakan Hanger' apalagi 'Rotan' ala Pola Asuh Kolonial Orang Tua Jaman Dulu.
Bukan aku yang kasih istilah itu (Kolonial), tapi Bunda Aisyah Dahlan yang mengistilahkannya dalam salah satu Video Youtube beliau, hehehe.


Tidak bijak juga memperlihatkan perilaku kasar terhadap anak-anak karena anak adalah peniru ulung.
Seperti saat Sang Cici menendang kakiku dengan pelan saat aku sedang menjemur pakaian (dia hanya bermaksud memberi kode buat kelonan, anak sulungku ini memang masih dikeloni buat tidur, walaupun bobo siang), adiknya pun langsung mencontoh.
Beberapa kali si bungsu datang mendekatiku saat menjemur hanya untuk menendang kakiku dengan keras, mengikuti tingkah Cicinya.
Jika sudah begitu, yang harus kita sebagai orang tua lakukan adalah mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Nah, jika kita menjadikan menghajar anak sebagai habit agar si anak patuh, maka jangan salahkan si anak kalau ia menjadi candu, yaitu harus dipukul dulu agar tunduk. Kelak ia juga bisa menjadi sosok yang kasar dalam pergaulan, karena merasa bahwa hanya dengan bersikap seperti itu maka temannya bisa patuh.
Atau malah sebaliknya, tergantung karakter si anak, justru ia menjadi anak dengan kepercayaan diri yang rendah karena ia merasa bahwa dirinya sama sekali tidak berharga, bahkan di mata orang terdekatnya sendiri, yaitu orang tua, Kakek dan Neneknya, atau siapapun juga yang terdekat dengannya.
Apalagi jika keduanya sering melemahkan anak-anak dengan kata-kata, selain bersikap kasar.
"Dasar bodoh!"
"Memang anak pemalas kamu."
"Tak ada harapan sama sekali anak ini."
"Lihat itu Teman-temanmu jauh lebih pintar."
"Tak ada semangat sekolah kok anak ini!"
Untuk itu, orang tua tak boleh merasa paling pintar, jauh lebih tinggi derajadnya dari Si Anak, melainkan harus bersikap lebih rendah hati.
Ingat selalu, anak memang kita yang lahirkan, namun saat mengharapkan ia hadir ke dalam rahim kita, bahkan saat proses persalinan sedang berlangsung, kita sebagai seorang ibu melakukannya dengan ikhlas.
Kehadiran seorang anak dalam rahim kita adalah kuasa Allah SWT, yang berarti bahwa mereka adalah titipan dari yang maha berkuasa.
Jika begitu, mengapa tangan kita dengan mudahnya didaratkan ke tubuh anak untuk menyakitinya, bahkan di wajah anak-anak 'yang ngakunya' kita sayangi? Apa kita sudah tak menghargai Sang Pencipta yang telah menitipkannya?
Rendahkan hati, hargai anak-anak, pahami mereka sebagai seorang sahabat, dengarkan pendapat mereka, ajak berbicara dengan lembut, bersikap sabar dan ikhlas menghadapi karakteristik mereka yang tak selalu bisa mengikuti keinginan hatimu sendiri.
Kepribadian anak yang diturunkan lewat genetik hanya 20%, sisanya (80%) adalah pengaruh lingkungan, tempat mereka dibesarkan.
Ketika kalian merasa bahwa anak-anak yang kalian lahirkan dan besarkan memiliki perilaku yang sangat buruk, maka bercerminlah. Siapa yang melahirkannya dan siapa yang membesarkannya? Semuanya bersalah!
Jadi, jangan hanya bisa menyalahkan anak-anak untuk itu. Sifatnya jelek, ya karena ada darahmu dalam darahnya. Perilakunya buruk, ya karena kamu mendidiknya dengan buruk. Sesederhana itu.
Maka, perasaan ikhlas sangat berperan besar dalam mengasuh anak-anak kita. Singkirkan dulu ego, besarkan rasa pengorbanan, dan didik mereka dengan baik, untuk masa depan mereka.
Sebagai orang tua, keputusan ada di tanganmu, bersikap rendah hati dan ikhlas dalam menghadapi mereka, untuk menjadikan masa depan mereka lebih baik, atau mereka akan membuatmu sengsara karena kau telah menciptakan masa depan yang suram bagi anak-anak dan dirimu sendiri.
Ini sebagai pengingat bagi diriku sendiri juga. Aku pun masih sering mengeluh dan kadang gemas juga dengan sikap anak yang membangkang, tapi dengan pemahaman bahwa 'menganiaya anak' itu tidak boleh dan tidak ada gunanya dalam menerapkan pola asuh, maka lebih banyak terjadi pengendalian dari dalam diri.
Tarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan, jadilah ibu yang berkualitas dengan tingkat EQ yang baik. Hehehe.
Bismillah. Sabar ya Ibu-ibu, Nenek-nenek, dan Kakek-kakek, dalam menghadapi anak-anak yang Sekolah Online dikarenakan Pandemi belum berlalu.
Benahi diri kita dahulu sebelum membenahi anak-anak kita.

Komentar