Cerita Pendek - Duri Dalam Daging yang Busuk

Based on True Story
Cover, by canva.com


        Anak sulungku tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit kala sebuah pesan singkat masuk melalui ponselku.
        "Tolong bilang pada suami Mbak untuk mengirimkan barangku yang tertinggal di ruko."
        Saat itu si bungsu yang baru berusia 10 bulan sudah tidur dengan pulas di sampingku.
        Kami baring beralaskan karpet plastik mini di atas lantai, karena hanya ada sebuah sofa di dalam kamar selain ranjang yang dipakai oleh pasien.
        Aku menarik nafas berat, menduganya sebagai seorang wanita, seperti dahulu ketika awal kami menikah, seorang wanita juga sempat mengganggu rumah tangga kami melalui status-statusnya pada Media Sosial, bahkan menyatakan bahwa dirinya sedang bersenang-senang bersama suamiku.
        Tak begitu ingin menanggapinya, hanya balasan singkat yang aku lakukan, sekedar meminta dia menyampaikan maksudnya sendiri pada yang bersangkutan, yaitu Mas Ariel, suamiku.
        Aku sudah terlalu lelah untuk memberikan perlawanan, serta sedang bersedih karena melihat anak perempuanku bertemankan selang infus dalam tidurnya.
        "Loh kan itu suaminya Mbak, tinggal menyampaikan saja apa susahnya sih?!"
        Seolah ingin menguji setinggi apa tingkat kesabaranku, ia terus mendesak meski aku tetap pada pendirianku, tak ingin ikut campur ke dalam masalah yang aku rasa sama sekali bukan ranahku, d
isamping karakteristikku yang memang bukan tipikal seseorang patuh komando.
        Aku tak ingin menjadi alat orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadinya. Apalagi karena aku telah menduga maksud hatinya, yaitu berbahagia di atas penderitaanku.
        Bocah bungsu yang tidur tepat di sampingku menggeliatkan tubuhnya, memecah lamunanku, memberi isyarat bahwa ia sedang membutuhkan ibunya, sehingga membuatku meletakkan ponselku sejenak untuk menyusuinya.
        Notifikasi pesan masuk kembali bersenandung dari ponselku, kubuka dan kubaca, masih berhubungan dengan orang dan topik yang sama.
        Seandainya saja aku tak tanggap akan cairan infus putriku yang sisa sedikit, tentu aku sudah ikut lelap bersama si bungsu seperti biasa.
        Menyusui  memang dapat meningkatkan hormon oksitosin dari dalam tubuhku sehingga membuat perasaan lebih nyaman dan kantuk pun langsung mendera.
        Tapi sebagai seorang ibu, ada perasaan khawatir jika suster yang merawat anakku telat datang untuk mengganti botol infusnya, sehingga aku berusaha untuk tetap terjaga.
        Teror pesan singkat yang masuk terus menerus membuat malamku cukup terganggu, apalagi  menyadari bahwa seseorang sedang sengaja mendekatiku untuk memberitahukan informasi penting yang kemungkinan besar akan membuatku sangat terkejut dan marah.
         Dorongan besar akibat rasa geramku dari dalam hati membuatku pada akhirnya menjadikannya status untuk Media Sosialku.
        "0812... ini nomor HPnya siapa ya?" Tulisku santuy guna menutupi kekesalanku yang sesungguhnya.
        Tak ada yang merespon statusku tersebut, sebagian dari teman 'maya'-ku tentu menganggapnya hanya sebuah status basa-basi saja.
        Aku melengos, ada perasaan puas di hatiku sudah menyebarkan nomor ponsel yang sangat menggangguku pada malam anakku sedang dirawat di Rumah Sakit.
        Suster jaga masuk ke dalam kamar untuk mengganti botol infus anakku yang sudah kosong, tersisa cairan yang memenuhi selangnya saja.
       Aku tersentak mendengar bunyi pintu terbuka, entah apa yang sedang aku pikirkan sampai merasa sangat terkejut ketika suster datang berkunjung.
        "Besok pagi periksa tensi ya Bu setelah rolling?"
        Aku mengangguk seraya melontarkan pertanyaan. "Besok dokter kunjungan jam berapa Suster?"
        Dia tersenyum, manis sekali, terlihat lesung pada tengah pipi kirinya, sepertinya masih berusia sangat muda, selalu bersikap ramah, sesuai sekali ditugaskan di kamar rawat anak. "Besok dokter ada praktek pagi Bu, mungkin sekitar jam 1 siang baru mulai kunjungan ke kamar."
        Aku melirik jam di dinding kamar, sudah hampir pukul 1 malam, sedangkan besok pagi aku sudah harus bangun sebelum rombongan suster datang untuk memberi informasi pergantian shift.
        Tentu ada perasaan tak nyaman ketika mereka datang, aku masih baring di lantai.
        Nyaris saja mataku terpejam jika aku tak ingat akan ponsel yang sempat berbunyi lagi saat suster datang barusan.
        Dia lagi!
        Aku membuka pesannya dan tercengang saat membacanya. Ia marah karena aku telah menyebar nomor ponselnya kepada khalayak umum, dengan kata lain dia sudah berada di antara teman Media Sosialku, memataiku selama ini.
        Aku memperbaiki posisi tidurku agar bisa sedikit menyandar pada dinding atau sofa. Kini dia berhasil menyita penuh perhatianku, menumbuhkan rasa penasaran di dalam hatiku.
        Dia salah besar jika merasa bisa mengelabui insting seorang wanita yang menjadi lawannya dan menyembunyikan identitasnya dari aib yang akan ia ungkapkan.
        Dewi Sarimin, sebuah nama yang akhirnya aku temukan. Seorang perempuan muda, berusia sekitar 7 tahun di bawahku, namun sudah berstatus janda dua anak. Bahkan anak pertamanya saja lebih tua 6 tahun dari anak sulungku.
        Hanya berbekal nomor ponsel yang menggangguku itu, aku berhasil mengungkap siapa orang dibaliknya.
        "Oke kalau itu mau Mbak, aku akan memberi-tahu semuanya." Katanya dengan senyum menyeringai, meski aku tak melihatnya secara langsung, hanya menduganya saja.
         Perjuangannya untuk menumbuhkan rasa penasaran di dalam diriku sia-sia ketika panas sedang menyelimuti hatinya sendiri, membuatnya langsung mengungkapkan jati dirinya meski dengan resiko bahwa dia akan kehilangan sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan utama.
        Itu sebabnya aku tak pernah membiarkan diriku untuk larut dalam emosi ketika menghadapi seseorang, agar tetap bisa berpikir jernih sebelum bertindak.
        Dengan perasaan penuh kemenangan dia berhasil mengungkapkan sebuah rahasia besar kepadaku, dan tentu saja rahasia yang dikhususkan hanya untukku.
        "Aku mantan pacar suami Mbak, baru putus bulan Februari kemarin. Kami berhubungan sejak tahun 2016."
        I get the point!
        Betapa piciknya, hanya ingin memanfaatkanku untuk memperoleh keinginannya dari ayahnya anak-anakku.
        Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang, sayangnya sebagian wanita tanpa pendamping, memilih jalan pintas sebagai cara bertahan hidup.
        2016, menjelang 4 tahun pernikahan kami, saat anak sulungku baru berusia 2 tahun.
        Aku cukup terkejut dengan pernyataannya itu. Ada kemarahan dari dasar hatiku, tapi bukan karena rasa cemburuku yang mendominasi, melainkan kemarahan yang besar kapasitasnya, karena selama 2 tahun ini aku sempat memintanya untuk menceraikanku. Bahkan dalam 6 tahun pernikahan ini, sudah terhitung 3 kali aku merongrongnya dengan ungkapan cerai.
        Tapi bukan aku namanya jika memilih jalan emosi daripada berpikir logis. Aku tetap menanggapi pesan singkatnya dengan santuy, hanya saja sengaja juga mempermalukannya melalui Media Sosialku.
        Dan berhasil!
        Dia terpancing, lalu memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya, membalas semua statusku di wall pribadinya juga.
        Tak ada keraguan lagi bagiku, memang dia orangnya!
        Aku tak tidur semalaman, itu kesuksesan terbesarnya! Membuatku sedikit terganggu, menambah beban pikiranku saat aku sedang membantu anakku berjuang melawan sakit radangnya.
       Seorang kawannya menanyai maksud dari statusnya, dan ia hanya menjawab dalam Bahasa Jawa yang kurang lebih artinya "Tidak apa-apa, hanya ada orang yang tidak jelas."
        Aku mencibir, tak ada orang yang lebih tak jelas lagi dibandingkan orang yang sedang berusaha memeras suami orang lain namun gagal karena tak sanggup menahan diri, bisikku dengan sinis di dalam hati ketika melihat jawabannya terhadap komentar sang kawan.
        Apa jadinya ya jika kawannya yang berkomentar itu mengetahui kalau si sahabat adalah seorang Pelakor? Mungkin dari kawan bisa menjadi lawan, karena sebagian besar wanita di muka bumi ini sangat benci dimadu dan membenci wanita-wanita dengan julukan 'PErebut LAKi ORang'.
        Ibu mertuaku datang bersama ponakkannya suamiku untuk menjenguk. Beliau membawakanku Nasi Padang kotakkan, namun kuletakkan saja pada meja makan geser yang ada di kamar itu.
        Tak kuperlihatkan kondisi hatiku yang sebenarnya pada beliau.
        Kami mengobrol seperti biasa, membicarakan kondisi anak sulungku, mengenai si bungsu yang sudah mulai bisa melakukan beberapa hal, serta tentang perkembangan bisnis suamiku, yang sebenarnya aku sedang tidak tertarik sama sekali untuk membicarakannya.
        Suara dering ponsel ibu mertuaku berbunyi, sempat kulihat raut tak menyenangkan dari wajahnya. Sepertinya beliau sedang tidak mengharapkan telpon tersebut.
        Sesekali beliau melirik ke arahku, sampai akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya dan menyerahkan ponselnya kepada ponakkanku.
        Ternyata seseorang sedang melakukan Video Call. Tapi tak seperti biasanya, jika keluarga yang menelpon, ibu mertuaku itu akan dengan antusias membiarkan si penelpon turut menyapa aku dan anak-anakku juga, seperti saat adik kandung suamiku melakukan video call dari luar kota.
         Deg!
        Hatiku seakan berhenti berdenyut ketika menyadari bahwa pada awal pembicaraan, ibu mertuaku sempat menyebut nama Dewi.
        "Ki, ini nah Tante Dewi video call." Kata ibu mertuaku itu saat menyerahkan ponselnya kepada sang cucu, kemudian langsung kembali menatapku dengan senyumannya yang terlihat sedikit sumbang.
        Kiki, ponakkan suamiku yang masih berusia Sekolah Dasar awal itu juga terlihat gagu, bingung mau berbicara apa karena mendadak disodorkan ponsel begitu saja.
        Aku hanya manggut-manggut dan mencoba tersenyum seperti biasa kepada ibu mertuaku itu, namun hatiku tak bisa berdusta ketika mulai memahami situasi yang terjadi di sekitarku.
        Tiada lain tiada bukan, hanya aku seorang yang tidak menyadari rahasia suamiku itu sejak lama.
        Tak berapa lama video call usai, Mas Ariel datang.
        Melihat kehadirannya membuatku ingin segera makan meski tidak sedang berselera, sehingga aku mengambil kotak Nasi Padang, membukanya dan mulai menggigit paha ayam goreng dengan ranggas.
        Jalan pernikahan yang kami lewati memang tak ada sejengkal pun yang lolos dari sandungan batu, meski hanya sebesar kerikil tapi banyak dan menumpuk, membuat kami selalu terjatuh.
        Aku dan anak-anak tidak pernah tidur satu tempat tidur, bahkan tidak juga satu kamar, dengannya, layaknya sebuah keluarga yang sesungguhnya.
        Dia memilih untuk tinggal di Ruko, sementara aku bersama anak-anak berada di rumah yang jaraknya hanya sekitar 8 menit waktu tempuh dari Ruko.
        Hubungan kami beberapa bulan terakhir terasa sangat dingin, aku yang secara tak langsung telah menciptakannya.
        Hatiku nyaris tak merasakan perasaan apapun terhadapnya, selain kebutuhan kami (tepatnya kebutuhannya, karena dia yang memulai) akan dorongan batin yang hanya bisa diperoleh antar suami istri.
        Meski bersikap dingin, tak pernah sekalipun aku menolak permintaannya. Selama aku belum merasa jijik padanya, semampu kulakukan untuk memenuhi kebutuhannya yang sulit tertahankan sebagai seorang lelaki.
        Dan merupakan satu-satunya caraku juga guna mencegah dia tak begitu merendahkanku dengan jalan mencumbui wanita lain.
        Ibu mertuaku tampak tak tenang melihat sikapku yang sedikit berbeda dari biasa, khususnya sejak kedatangan suamiku.
        Apalagi sama sekali bukan caraku, makan sambil berbicara, dengan arah pembicaraan yang tak jelas mau dibawa kemana.
        "Ada temannya si Izul loh, Mas, perempuan. Janda beranak dua, anak pertamanya sudah umur 11 tahun, anak keduanya mungkin masih sekitar 6 tahunan, baru saja pulang ke kampungnya hanya untuk jadi pelacur!"
        Dengan ngos-ngosan aku mengatakannya, karena menahan emosi, menceritakan sebuah kisah yang sesungguhnya hanya sebuah karangan belaka.
        Tapi caraku mengghibah sudah seperti Bu Tejo, tokoh 'gosip' yang sedang viral itu, hanya kurang logat Jawanya yang kental. Izul adalah nama adik semata wayangku.
        Wajah Mas Ariel juga gelisah, mengisyaratkan bahwa ia khawatir aku telah mengetahui rahasia yang tak seharusnya aku ketahui.
        "Anu Sa, ini tantemu yang di Sepinggan itu mau datang ke rumah, jadi Mama dan Kiki pulang dulu lah." Beliau selalu menyebut tantenya Mas Ariel sebagai tanteku juga, maklum, kami kan suami istri.
        Aku tersenyum, masih dengan makanan yang berusaha kukunyah segenap hati, tak lupa menjawab dengan mulutku yang masih terasa penuh. "Iya Ma, biar diantar sama Mas Ariel sekalian. Biasanya dia juga tak lama disini."
        Mulutku memang tidak pernah tahan untuk tak menyindirnya jika mengenang kesendirianku sejak awal aku menikah.
        "Aku antar Mama dulu, ntar malam baru aku kembali."
        Aku melengos. "Tidak usah, ini rumah sakit, anak-anak butuh istirahat kalau malam."
        Shoo shoo ... ingin rasanya aku mengusir selayaknya seekor hewan.
        Dia berlalu tanpa mengatakan apapun lagi, kebetulan ibu dan ponakkannya juga sudah menunggu di depan pintu.
        Fiuh, aku menghela nafas lega. Lebih baik dia segera pergi daripada aku harus berpura-pura lebih lama lagi, seolah tak ada yang aku ketahui, di depannya.
        Kumasukkan kotak nasi dengan sebagian makanannya yang belum terjamah ke dalam tong sampah, kemudian melepeh makanan yang belum berhasil juga aku telan.
        Baru sekitar 10 menit Mas Ariel dan ibu mertuaku pergi, notifikasi pesan masuk di ponselku berbunyi.
        Wanita yang tidak jelas itu lagi!
        Sebuah pesan yang cukup panjang yang intinya menyakinkanku kembali kalau apa yang ia sampaikan kepadaku sebelumnya hanyalah sebuah kebohongan.
        Tentang ia yang mengetahui suamiku punya rumah di kecamatan lain, tentang suamiku yang bercerita mengenaiku yang tak bisa mengendarai mobil sehingga selalu merepotkan suamiku untuk mengantar jemputku, tentang dia yang berbicara mengenai ruko, ... ia meralat semua itu!
        Mas Ariel, kamu bodoh!
        Sulit rasanya menghentikan gejolak hati ini karena ketololan ayah dari anak-anakku itu. Entah sudah berapa banyak uang yang kau habiskan hanya untuk menyumpal mulut wanita jelmaan kuntilanak itu! Bisik hatiku, gemas.
        Aku meminta Mas Ariel mengantarkanku dan anak-anak ke rumah orang tuaku ketika si sulung sudah diijinkan keluar dari Rumah Sakit.
        "Alyssa masih butuh waktu untuk pemulihan, jadi aku perlu bantuan kedua orang tuaku untuk membantuku merawat anak-anak selama masa penyembuhannya. Karena agak susah kalau hanya aku bertiga dengan anak-anak di rumah, takut kenapa-napa." Kataku beralasan padanya, sebelum ia bertanya lebih lanjut.
        "Sa, kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" Ibuku masuk ke dalam kamar, duduk di tepi tempat tidurku, saat aku sedang menyusui anak lelaki bungsuku.
        Aku menghela nafas, berat terdengar, bukan hanya bagi diriku sendiri, pasti ibuku itu juga mendengarnya dengan jelas.
        "Tunggu Alyssa sudah pulih betul, Sasa akan masukkan berkas ke pengadilan."
        Beliau menepuk lembut kakiku. "Kami selalu mendukung apapun keputusanmu. Lelaki memang kadang egois, mau bermain-main di luar sana, tapi tak rela membebaskan istrinya."
        Aku mengangguk pelan.
        "Ini bukan hal yang berat untuk Sasa lakukan Mom, sudah lama cinta itu terkubur. Tapi ..."
        Aku melepaskan puting payudaraku dari bibir mungil si bayi dan memperbaiki posisiku agar duduk sejajar dengan ibuku.
        Susah rasanya untuk menggambarkan apa yang sedang kurasakan saat ini.
        "Mami paham apa yang Sasa rasakan." Beliau mengelus-elus lembut pundakku.
        "Sebenarnya lelaki sekali waktu khilaf itu biasa, asal nggak khilaf berkali-kali loh."
        Mami melirik penuh arti pada papaku yang kebetulan melintas di depan kamar, membuat papaku sengaja bersiul sambil berlalu, memberi kode bahwa beliau sama sekali tidak mendengarnya.
        "Ya dengan catatan sepanjang pernikahan ia selalu bersikap baik dan menghargaimu, tidak pernah sama sekali mengabaikanmu, kemudian harus meminta maaf dan berjanji tidak akan pernah ada kesalahan yang sama untuk ke depannya." Beliau menatapku dengan tatapan teduhnya, sebelum mulai melanjutkan pernyataannya lagi.
        "Kata maaf layak untuk ia dapatkan kembali, apalagi jika masih tersisa cinta untuknya. Mami sangat memaklumi kalau kamu bersikeras untuk berpisah dari suamimu." Beliau tersenyum dan meraih tubuhku ke dalam pelukannya.
        "Anak-anak jauh lebih bahagia bersama orang tua tunggal yang bahagia." Bisik beliau, lembut, di telingaku.
        Ada rasa sakit yang mendalam karena daging yang sudah membusuk sebelum berhasil menyingkirkan durinya. Dan rasa sakit itu sudah lama aku rasakan, hingga kini kepedihan tiada berbekas lagi, tersisa kemarahan karena terkurung begitu lama bersama para pengkhianat.
        Mas Ariel tahu dengan jelas, aku tidak akan berusaha mempertahankannya sama sekali sehingga pada detik-detik keputusan talak kami di pengadilan pun, ia tetap memilih untuk berdusta.
        Sementara wanita bernama Dewi itu, ia tentu berharap aku akan menangis meraung-raung saat menyadari suamiku telah berusaha menyakitiku dengan jalan berselingkuh.
        Kemudian karena rasa cintaku yang sangat besar pada suamiku (menurutnya), aku akan kembali jatuh ke dalam pelukan ayah anak-anakku itu, agar ia bisa mendapatkan apa yang sangat diinginkannya.
        Mas Ariel mungkin tahu bahwa dirinya adalah duri dalam daging yang sudah busuk, namun Dewi tak pernah tahu bahwa ia sedang berusaha menyakiti daging yang sudah busuk dengan menjadi duri baru yang ikut menancap.
        Rumah kami sudah lama hancur jauh sebelum dia datang, tapi keegoisan Mas Ariel membuat kami terpaksa tetap menjadi tiang yang masih berdiri di antara puing-puing bangunannya.
        
-Tamat-

         
        

Komentar

  1. Kok singkat si thor padahal bagus d lanjutkan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya sudah mampir. Pasti ada kok Cerpen dengan judul baru di Blog ini, yang masih saling berkaitan dengan cerita ini.

      Hapus
  2. Kok singkat si thor padahal bagus d lanjutkan...

    BalasHapus
  3. Bagus ceritanya mba. Diangkat dr kisah nyata ? Tapi aku suka endingnya. Aku pun pernah ngalamin hal gini, di pernikahan pertama. Tapi dr awal tau, aku lgs gugat cerai. Ga ada rujuk2an. Kesalahan apapun aku bisa maafin, kecuali selingkuh. Sampe kapanpun aku ga bakal percaya lagi dengan laki2 yg begitu. Untuk apa dipertahankan kalo rasa percaya udh hilang. Mending cerai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir. Betul sekali, setiap wanita berhak memutuskan jalannya sendiri.

      Hapus

Posting Komentar