Anak Memang Harus Berkata Jujur Tanpa Pilih Kasih


Anak Jujur
Moment saat aku dan sepupunya menjemput Aisyah di Sekolah.
Sumber Foto: Milik Pribadi.

       Nggak bisa aku ungkapkan perasaanku saat aku bersama dengan ponakkanku menjemput Aisyah, anak sulungku itu pulang sekolah.

        Kala itu Aisyah termasuk murid baru di Sekolah Taman Kanak-kanaknya, dan kebetulan sekali ponakkanku sedang tidak masuk sekolah karena saat itu tidak ada yang mengantarkannya.

        Usianya lebih tua dari Aisyah satu tahun sehingga Aisyah memanggilnya Cece (sapaan 'Kakak' bagi warga China Surabaya yang banyak bermukim di Kota Balikpapan juga), namun mereka sama-sama masih duduk di TK B, hanya saja berbeda sekolah.

        Seolah sudah pernah bersua sebelumnya, salah satu guru Aisyah langsung menyapa dengan ramahnya, "Oh ini Cece yang di Gunung Sari itu ya Mom. Aisyah suka cerita kalau ada Cece dan Kokonya yang tinggal di Gunung Sari."

        Aku merasa sangat 'surprise', namun tetap mencoba tersenyum dan manggut-manggut. Aylin, sepupunya Aisyah itu juga tersenyum malu-malu karena ternyata dikenali juga di sana.

        Baiklah, sepanjang perjalanan pulang mengendarai sepeda motor membawa Aisyah dan sepupunya itu, pikiranku campur aduk. 

        Memang Aisyah sangat suka mengobrol. Siapapun yang berjumpa dengannya, selalu berusaha ia akbrabin.

        Pernah suatu ketika salah seorang gurunya Aisyah melapor, "Wah pokoknya Aisyah arisan terus di kelas Mom. Dia cocok banget sama Jadden dan Alvaro. Kalau sudah di dekat mereka, Aisyah nggak akan berhenti ngoceh."

       Aisyah memang lebih condong bermain dengan anak-anak lelaki karena karakternya yang agak tomboy, suka berlari sana-sini, melompat, dan memanjat.

        "Saya pindahin dekat Mitha, Sean, dan Gabriella, wah sama juga, arisan melulu pokoknya, jadi saya pindahin dekat Kanza." Kata gurunya lagi.

        Kanza termasuk anak yang lebih kalem dan pendiam daripada yang lainnya, tapi siapa sangka ketika di dekat Aisyah, jadi ketularan suka ngobrol, hihihiiii.

        "Tapi Mom, dipindahin dekat Kanza pun, Kanza jadi ikut-ikutan arisan Mom." Gurunya melanjutkan.

        Aku jadi ketawa geli sendiri. Aisyah memang sangat suka mengobrol, dan anaknya sangat kritis kalau di rumah. Hal apapun akan dia tanyakan dan kalau sudah mengoceh susah berhentinya.

        Pernah suatu ketika kami pergi ke Rumah Sakit, ia langsung menunjuk semua ibu yang lagi duduk menunggu panggilan dokter, "Kenapa semua orang di sini gendut-gendut Mami, lebih gendut dari Mami."

        Lah, kami kan sedang mengantri di dokter kandungan, jadi tentunya kebanyakan dari orang yang mengantri adalah ibu-ibu hamil, dari yang masih hamil muda sampai hamil besar.

       Di lain waktu saat kami mengunjungi rumah sakit lagi, dia bertanya tanpa henti tentang seorang kakek yang memegang tongkat dan berjalan agak timpang, "Mami, kakinya dia kenapa?"

        Syukurlah posisi kami agak jauh dengan orang yang dimaksud saat itu. Lalu bagaimana dengan driver mobil online dimana kami duduk tepat di belakangnya?

        Saat itu kami akan pergi ke mall, dan seperti biasa kami memesan mobil online. Kebetulan banget yang jemput kami, laki-laki yang usianya mungkin lebih muda sedikit dariku, dengan rambut yang agak ikal dan sedikit panjang sehingga sang sopir sengaja mengikat rambutnya.

        Di dalam mobil, Aisyah itu terus bertanya, "Kenapa dia rambutnya diikat Mami?"

        Maksudnya, kenapa laki-laki rambutnya harus diikat?

        Jika posisi dudukku nggak tepat di belakang driver, mungkin aku sudah tertawa geli. Jadilah aku pura-pura tidak dengar sambil membuang pandangan ke arah luar jendela mobil dan mengalihkan pembicaraannya. 

        Anak sulungku itu memang anak yang luar biasa. Ojek Online yang datang ke rumah untuk mengantar makanan sesaat saja berusaha dia akrabin.

        Kadang dia pamerin apa yang dia punya, "Lihat Ojek, Aisyah punya skateboard!"

        Kadang ada ojek online yang ramah membalas sapaannya tapi kadang ada driver yang nggak tahu-tahu terhadap ocehannya yang memang menurut mereka tidak penting itu.

        Begitupun dengan tukang sapu yang ada di pinggir jalan sewaktu dia masih berusia sekitar 3 tahun.

        Setiap kami melintasi komplek, dia akan sapa si tukang sapu dengan ramahnya, "Bye Witch."

        Dan tukang sapunya juga selalu membalas 'dadahan'nya itu.

        Aisyah waktu kecil kan kalau ngomong lebih sering pakai Bahasa Inggris karena kebetulan bahasa pengantar di Paud-nya Inggris.

        Nah syukurlah ibu tukang sapunya nggak tahu kalau yang dimaksud Aisyah dengan Witch itu adalah penyihir.

        Dulu Aisyah selalu berpikir kalau ibu-ibu yang bawa sapu lidi tapi dipasangin tongkat panjang itu sebagai penyihir, apalagi ibu tukang sapunya selalu pakai bedak dingin kan?

        Nenek uyutnya saja kalau lagi menyapu di depan rumahnya pakai sapu model begitu, dipanggilnya Witch juga.

        Hemm, kembali lagi soal ocehannya Aisyah di sekolah, sampai rumah aku menanyainya dengan perlahan.

        "Aisyah ... Aisyah emang cerita apa aja tentang Cece dan Koko?"

        Kedua sepupunya itu terlahir dari orang tua yang menikah dini, kemudian bercerai dini, sehingga sebenarnya sejak bayi sudah bersamaku dan kedua orang tuaku.

        Tetapi karena orang tuanya hampir rujuk, maka mereka dikasih masuk sekolah yang dekat dengan tempat orang tuanya tinggal, yaitu di daerah Gunung Sari.

        Sampai pada masa dimana ternyata kedua orang tuanya memang tak dapat bersama lagi, mereka pun kembali tinggal bersama orang tuaku. Tentunya sekarang bersama aku dan anak-anak juga.

        "Cerita tentang Cece dan Koko sempat tinggal di Gunung Sari gitu ya?"

        Aisyah mengangguk, tapi dengan wajahnya yang tidak tahu-tahu itu, sama sekali tak fokus padaku yang sedang bertanya.

        Dia sibuk dengan aktivitasnya tapi tetap merespon dengan anggukannya.

        "Oh oke, trus Aisyah cerita tentang Mami juga ke Teacher?"

        Di sekolahnya yang sekarang, anak-anak memang dikondisikan untuk menyapa gurunya dengan sebutan teacher, bukan 'miss' lagi seperti sapaan di sekolah sebelumnya.

        Dia tidak menjawab karena sedang melihat layar ponsel, jadi aku melanjutkan pertanyaanku saja.

        "Tentang Mami dan Daddy Aisyah ya ke Teacher?"

        Aisyah terdengar menghirup nafas dan menghembuskannya dengan berat, seolah gerah melihatku terlalu banyak pertanyaan, padahal dibandingkan pertanyaan yang selalu ia lontarkan, pertanyaanku itu tak seberapa.

        Ia meletakkan ponselnya sesaat untuk menjawabku dengan gayanya yang seperti orang dewasa, sebelum meraihnya kembali, "Mami dan Daddy udah tepisah kan? Karena nggak cocok lagi. Begitu."

        Kalimatnya membuatku tercengang, "Aisyah cerita itu sama Teacher?"

        Kala itu kami memang sedang proses perceraian di Pengadilan Agama, sehingga aku berterus terang kepada anak sulungku itu bahwa aku dan ayahnya sekarang sudah tidak cocok dan harus berpisah.

        Agar ia tidak pernah memaksaku untuk ikut pergi jalan-jalan bersama Daddy-nya seperti selayaknya sebuah keluarga lagi.

        Ia menoleh sejenak untuk menjawabku sekali lagi dengan nada suaranya yang terdengar mulai kesal, "Iya. Memang benar kan. Mami tepisah sama Daddy, nggak cocok lagi, gitu."

        Aku nggak tahu harus berkata apa saat itu. Seorang anak sudah seharusnya berkata jujur bukan? Atau aku harus meralatnya dan membiarkannya berkata yang tidak jujur untuk beberapa kasus?

        Ah sudahlah, anak seusianya belum pandai memilah, jauh lebih baik dia menjadi anak yang jujur. Aku dan Daddy-nya memang sudah berpisah bukan?

        Kelak, tetaplah polos seperti saat ini anakku. T_T

Komentar

  1. wah sama dengan anak keduaku, weti istilah aku pada orang yang cerewet

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di keluargaku sering dibilang 'kepek-kepek', Mom ... hihihiii, istilah untuk anak kecil yang banyak kepo, sok tahu dan ngoceh terus kerjaannya.

      Hapus

Posting Komentar