Jangan Beri Aku Label dan Doa Negatif Ya Mami - Harapan Seorang Anak

 

Jangan Labeli Anak
Anak-anak tak pernah salah, kalaupun harus ada yang salah, mungkin tempat mereka dibesarkan.
Sumber Foto: Koleksi Pribadi.

        Tadi malam si Bungsu berulah, Koko sepupunya sedang santai nonton televisi dan menoleh sebentar ke arahnya sambil tertawa dengan ceria, mendadak menangis karena telapak tangan si Bungsu mendarat dengan keras di pipinya.

        Kalau tidak ada aku, mungkin si Koko sudah membalasnya, karena biasanya dia tak akan membiarkan adik-adik menyakitinya, khususnya yang hanya berusia 1 sampai dua tahun saja di bawahnya.

        Sedangkan Titi (begitu biasa aku memanggil si Bungsu, sapaan adik bagi keluarga Chinese) berusia 6 tahun di bawahnya, jadi selain dia agak menahan diri terhadap Titi, yang bisa dilakukannya hanya mengadu padaku.

        "Ciyo tidak salah apa-apa, kenapa Ciyo dipukul." Katanya sambil menangis.

        Aku pun menegur Titi, mengatakan padanya kalau ia tidak boleh melakukan itu. Tapi bukan Titi namanya kalau menerima ditegur, ia malah sengaja mau menjatuhkan kacamata yang sedang tersangga dengan manis pada tulang hidungku yang menurun. Berbalik marah ceritanya.

        Tapi kali ini sambil tertawa-tawa saja, karena sebenarnya dia memukul bukan dalam keadaan marah, tapi bocah kesayanganku ini memang sangat suka mengekspresikan dirinya dengan cara memukul.

        Waktu ia bayi, Aisyah bisa tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan menangis karena jari-jari tangan Titi menggenggam erat pada rambutnya lalu menarik dengan keras. Sampai dia usia satu tahun masih suka menjambak rambut deh sepertinya.

        Bukan hanya rambut si Cici (begitu aku mengkondisikan Titi untuk memanggil Aisyah, artinya adalah Kakak, tak begitu berbeda dengan Cece, hanya soal aksen), tapi juga rambut Maminya ini.

        Pokoknya dulu dia nggak bisa banget kalau nemu rambut, jadi kadang aku sengaja memberikan rambutku. Tapi dasar anak-anak, kalau kita larang dia makin seru melakukannya, sedangkan jika kita sengaja memberikannya, ia malah geleng-geleng kepala, tak mau melakukannya.

        Kini ia lebih suka memukul dan melempar barang. Apalagi jika apa yang ia inginkan tidak dikasih.

        Kata JiEm dan JiPinya, anak bungsuku ini berhati keras. Tapi bagiku tidak. Separuh dalam darah anak bungsuku ini mengalir darahku, jadi buruk atau tidaknya anakku, sedikit banyak menurun sifatku.

        Aku berhati lembut, mudah banget mewek, Aisyah pun begitu, maka aku yakin si Titi juga.

        Mau bukti? Hehehee ...

        Saat aku menegurnya dengan keras ketika ia melakukan hal-hal yang tidak baik, ia akan marah dan berusaha melempar seluruh barang yang ada di dekatnya termasuk barang pecah belah. Itu juga yang menyebabkan aku selalu berusaha menjauhkan gelas dan piring dari jangkauannya.

        Dia berteriak menatapku sambil melempar barang, termasuk bangku anak-anak yang mini-mini itu (yang terbuat dari plastik) sampai salah satunya rusak, plastiknya patah.

        Tapi ... dari pelupuk matanya menggenang air yang berusaha setengah mati ia tahan agar tidak jatuh.

        Untuk anak seusianya, 2 tahun, dengan kondisi Speech Delay, itu sangat luar biasa bagiku. Anakku mungkin keras 'topeng'nya, namun tidak dengan hatinya.

        Aisyah tipikal yang sama dengannya, selalu melakukan pembangkangan, kalau ditegur dengan keras memang kadang terlihat mengolok-olok, tapi pernah paham nggak sih kita kalau hatinya terluka?

        Aku bukan berusaha memahami perasaan kedua anakku, tapi aku memang paham. Jadi kalau aku melihat dia masih mengolok-olokku yang marah di depan kedua sepupunya tapi dengar raut wajah yang sudah mulai berubah, aku akan berhenti menegurnya.

        Anak-anak punya rasa malu juga jika kita menegurnya secara langsung di hadapan orang lain, hanya saja kadang kita sebagai orang tua sering tidak sadar melakukan itu, maka saat sudah sadar berhentilah.

        Kalau kita lihat anak-anak kita begitu buruknya, berarti kita sebagai orang tua tak kalah buruknya dengan dia, karena di dalam darahnya juga mengalir darah kita, yang merawat dan mendidiknya setiap hari adalah kita.

        Kembali lagi soal si Bungsu. Dia ini sudah tahu rasanya dibawa jalan, sehingga ketika melihat JiPinya sudah menggunakan topi dan berpakaian bagus, maka dia akan ikut menunggu di depan pintu.

        Jadi biasanya aku akan menggendongnya dan membawanya pergi dari pintu dulu sampai si JiPi sudah keluar rumah barulah membiarkan ia berjalan di lantai kembali.

        Lucunya, saat melihat JiPi dari balik pintu teralis, dia tidak menangis juga meski ingin ikut tapi tak dibawa, dia malah 'dadah dadah' dan 'sun jauh'.

        Kata si JiEm, "Kelihatannya anak ini kurang ya jiwa berjuangnya."

        Memang si Titi ini cenderung pasrah jika tidak diajak jalan, atau tidak diijinkan masuk kamar saat kakak-kakaknya sedang Sekolah Online. Tapi kalau menurutku justru itu sisi baiknya dia, suatu bentuk kepatuhan, tidak memaksakan ego-nya.

        Ya tergantung paradigma kita memandangnya saja. Daripada anak-anak bingung, para orangtua ini maunya apa sih? Kalau pasrah dibilang nggak mau berjuang, giliran memaksakan keinginannya dibilang keras hati. Hehehee ...

        Kalau aku ikuti nasehatnya Bunda Aisyah Dahlan saja, yaitu jangan pernah melabeli anak dengan label-label negatif agar mereka tidak merasa bahwa orang tuanya saja menganggap mereka buruk, apalagi orang lain?

        Seperti sebuah pepatah yang mengatakan juga bahwa "Kata-kata orang tua adalah doa bagi anak mereka", maka berkata baik sajalah untuk anak-anak.

        Karena bagiku yang sejak SMP sudah memimpikan untuk menjadi seorang ibu, memiliki mereka berdua adalah anugerah yang tak ternilai, jadi aku tak mau menyesal jika sekali saja aku berkata buruk dan terjadi sungguhan pada mereka.

Komentar